Monday, April 9, 2007

Realita Sosial

Balada Sungai Lebung
Denyut Pendidikan Terbalut Keterisolasian

TERISOLIR dan memprihatinkan. Begitulah gambaran yang selalu muncul setiap kali orang membicarakan tentang Desa Sungai Lebung. Wilayah yang kini menjadi Ibukota Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir (OI) ini, memang hingga kini masih terbalut keterisolasian.

Kondisi itu benar-benar terlihat ketika Makmur Asyik, Sarono Putro Sasmito dan Sumaryanta dari Buletin Suara Pendidikan, melakukan reportase ke daerah ini, Jumat (19/1) lalu. Dengan perjalanan yang agak tergesa-gesa, karena hari Jumat yang jam kerjanya lebih pendek dibandingkan hari-hari lain, kami berupaya menjangkau lokasi itu.
Dengan menyewa ketek (sebutan kendaraan air sejenis perahu bermesin, Red)
berpenumpangkan empat orang, kami mulai menuruni bibir Sungai Juaro di Desa Suka Merindu. Lelaki muda yang mengemudikan ketek itu mulai menghidupkan mesin ketek dan kendaraan air itu mulai melaju membelah Sungai Juaro yang berwarna kekuningan. Kendaraan air itu berjalan lambat, mungkin karena mesinnya telah tua. Perjalanan berlangsung dengan lancar, ketika kami mendarat dan menjejakkan kaki di Desa Sungai Lebung, gambaran keterisolasian daerah itu benar-benar menjadi kenyataan.
Bayangkan! Di pusat kota kecamatan hasil pemekaran ini, kami tidak menjumpai satu pun kendaraan roda empat. Sebab memang tak ada akses jalan yang dapat membawanya ke arah itu. Bahkan ruas jalan menuju Kantor Kecamatan Pemulutan Selatan yang baru saja diresmikan pada Senin, 15 Januari 2007 lalu, masih berupa timbunan tanah liat dan becek. Anehnya, kantor kecamatan itu pun lengang. Tak terlihat sama sekali kesibukan para pegawai di tempat itu.
“Tak ada pegawai yang masuk, Pak. Termasuk Pak Camat M. Syafei hari ini tak datang,” ujar Hardiyan staf TKS yang mengurus kantor kecamatan ini kepada Suara Pendidikan.
Merasa tidak mendapatkan nara sumber yang kami tuju, kami pun terus menyusuri jalan setapak menuju beberapa fasilitas pendidikan dan fasilitas umum lainnya. Tak jauh dari kantor camat itu, terdapat bangunan Puskesmas. Di gedung yang masih baru dan belum sepenuhnya selesai ini pun tidak terlihat kesibukan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Yang ada justru beberapa tukang bangunan yang melakukan penyelesaian beberapa bagian bangunan.
Kaki kami terus melangkah. Tak jauh dari lokasi itu, ternyata kami temui adanya bangunan Puskesmas Pembantu (Pustu). Di tempat ini, agak semarak. Di sebuah ruangan ada belasan anak-anak yang mengenakan baju kaos oranye. Mereka didampingi oleh para ibunya dan salah seorang yang perprofesi sebagai guru yang mengasuhnya.
“Ini namanya Pendididikan Anak Usia Dini atau PAUD, Pak,” ujar Farida.
Perempuan lulusan SMA Muhammadiyah 7 Palembang ini, terlihat antusias menjelaskan keberadaan PAUD yang diasuhnya.
Tak lama setelah itu, kami pun meneruskan perjalanan untuk melihat kondisi sekolah yang ada di desa ini. Dengan menyewa tiga sepeda motor pengojek kami menyusuri jalan desa yang ada di pinggir Sungai Juaro. Jalanan yang licin membuat kami mesti ekstra hati-harti agar tak tergelincir dan terjebur ke sungai.
Di SDN 1 Sungai Lebung, justru kami mendapatkan pemandangan yang lebih memprihatinkan. Sebab sekolah yang memiliki 290 peserta didik ini, terlihat jelas kekurangan lokal. Fisik bangunan semi permanen ini pun, banyak memperlihatkan kondisi kerusakan. Di sana-sini lantai papannya berlubang. Bahkan ada satu ruangan yang berada di bagian tengah kondisinya lebih parah. Lantai papannya berlubang-lubang dan tekstur lantainya pun telah bergelombang. Kondisi seperti itu tak jarang membuat anak-anak terperosok ketika tengah melakukan aktifitas di dalam kelas. Untuk menghindarkan kejadian yang lebih buruk, maka ruangan itu pun kini dikosongkan.
“Yah, beginilah kondisi kami, Pak. Kekurangan lokal menjadi kendala utama dalam kegiatan belajar-mengajar. Di samping harus mengajar secara shif-shif-an ada juga kelas yang harus dihuni 61 murid dalam setiap pelajarannya,” ujar Edi Iskandar guru Penjaskes di sekolah ini.
Di lembaga pendidikan dasar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Fatimah AR, Ama. Pd ini terdapat 19 orang guru. Dari jumlah itu hanya lima orang guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selebihnya dua orang CPNS, lima orang Guru Bantu, empat orang Guru Honor Daerah (Honda) dan tiga orang tenaga honorer.
Menurut Zatiah dan Sarima, dua orang guru yang mengajar di tempat itu, berbagai kekurangan itu membuat dunia pendidikan di wilayah ini terbilang suram. Sebab semuanya berjalan dengan penuh keterbatasan. Bukan hanya ruang kelas, buku ajar, alat peraga, sampai dengan perpustakaan belum mereka miliki.
Apa yang diutarakan oleh kedua orang stafnya diakui oleh Fatimah sendiri. Keadaan sekolah yang dipimpinnya memang masih serba kekurangan.
“Kami sering mengajukan permohonan bantuan ke Pemkab. Tetapi hingga sekarang belum ada realisasinya,” ujar guru senior ini.
Ketika perjalanan kami lanjutkan menuju Kantor Cabang Dinas Pendidikan Nasional (Cabdin Diknas) Kecamatan Pemulutan Selatan, di tempat ini pun kami menemukan kondisi yang nyaris sama. Ternyata bukan hanya camat, kepala Puskesmas, dan kepala sekolah. Kacabdin Diknas pun sedang tidak berada di lokasi.
“Kami sedang ada urusan di kabupaten,” ujar Kacabdin Diknas Pemulutan Selatan Bahrus Syarif ketika dihubungi via ponsel.
Menurut Hermanto, CPNS yang bertugas di tempat itu, pimpinannya memang sedang ada urusan di kabupaten. “Aktifitas kami tidak begitu kelihatan, di samping hari Jumat banyak pegawai yang melayat,” jelasnya lagi.
Dari tempat itu, kemudian kami beranjak menuju SMPN 1 Pemulutan Selatan. Di lembaga pendidikan yang baru berjalan sekitar tiga tahun ini pun, kami menemukan keganjilan serupa. Kepala Sekolah M. Kusim Arsyad juga tidak berada di tempat. Para murid tidak sedang dalam kegiatan belajar mengajar. Sebagian bergerombol di luar ruangan, yang lain ada di dalam kelas. Tetapi semuanya bukan tengah belajar.
Ketika sampai di ruangan kepala sekolah, kami justru disambut oleh Mirani Arsyad, SE dan Fashihah, SE dua orang guru tak tetap (GTT) yang mengabdi di tempat itu.
“Muridnya 263 orang, Pak. Tetapi karena sering terjadi jam kosong maka mereka tak ada kegiatan,” ujar keduanya menerangkan kondisi yang tengah kami lihat.
Mirani, Sarjana Ekonomi alumni Universitas Pattimura (Unpati) Ambon ini, mengaku melihat kondisi seperti itulah yang membuatnya tergerak untuk menyumbangkan ilmunya.
“Memang honornya tak seberapa, hanya Rp 3 ribu per jam. Tetapi karena kami ingin menyumbangkan ilmu kepada mereka maka kami menjalani profesi ini selama tiga tahun ini,” ujar ibu yang mengajar Geografi ini.

Kapankah akan Berubah?
Wajah kusam pendidikan di Sungai Lebung, memang menjadikan daerah ini populer di Kabupaten Ogan Ilir (OI). Kepopulerannya bukan karena prestasi yang berhasil diraih oleh pelaku pendidikan di wilayah ini. Tetapi lebih karena lokasinya yang terisolir sehingga hanya dapat dijangkau dengan kendaraan air.
Tak pelaklah kalau pegawai di Dinas Diknas OI berusaha menghindarkan diri ditugaskan di tempat tersebut. Sebab, meski desa itu secara geografis, jaraknya hanya sekitar 15 kilometer dari Indralaya, namun karena lokasinya yang terisolir, sehingga tak terjangkau kendaraan roda empat.
Kenyataan seperti itu membuat kami yang menyambangi desa itu seperti berada pada “dunia lain” dalam peta wilayah Kabupaten Ogan Ilir. Ketika desa-desa tetangga seperti Suka Merindu, desa-desa di Kecamatan Tanjung Raja diramaikan oleh deru kendaraan roda empat, di daerah ini justru kendaraan seperti itu tak ada.
Pandangan mata anak-anak dan warga hanya tertumbuk, pada kuningnya air sungai yang melingkari desa mereka. Satu dua sepeda motor memang dapat memasuki desa itu, setelah melewati proses “evakuasi” dengan ketek yang susah payah.
Sebagai ibukota kecamatan yang berdampingan dengan delapan desa lain yang termasuk dalam Kecamatan Pemulutan Selatan. Sebenarnya Desa Sungai Lebung dapat dijadikan barometer mutu pendidikan di kecamatan ini. Kalau di ibukota kecamatannya saja kondisi pendidikannya serba kekurangan, maka desa-desa yang lain pun akan menghadapi kenyataan yang lebih parah lagi.
“Kondisi seperti inilah yang sekarang sedang dibenahi oleh Bapak Bupati. Kami sebagai perpanjangan tangannya siap melaksanakan tugas sebaik-baiknya,” ujar Kacabdin Diknas Pemultan Selatan Drs. Bahrus Syarif
Gairah Baru Yang Terpicu
Di balik cerita buram dan suram dunia pendidikan di wilayah ini. Adanya pemekaran Kabupaten Ogan Ilir dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang diikuti dengan pemekaran kecamatan dengan terbentuknya Kecamatan Pemulutan Selatan terbukti membawa gairah baru bagi warganya.
Hermanto PNS di Cabdin Diknas Pemulutan Selatan mengemukakan, kegairahan masyarakat desa-desa di Kecamatan Pemulutan Selatan makin terasa saat ini. Mereka, terbuka matanya ketika berbagai fasilitas dibangun di wilayah ini.
“Bayangkan kini, kami telah memiliki kantor kecamatan, Puskesmas dan pembangunan gedung-gedung sekolah baru. Semua ini tak pernah terwujud puluhan tahun ketika kami masih berada di wilayah OKI,” katanya. Sebagai putra daerah, kini dia merasa tertantang untuk turut andil mengisi pembangunan di desa kelahirannya.
Beberapa warga desa yang lain membenarkan keterangan Hermanto. Geliat pembangunan di kecamatan ini bukan hanya bidang pendidikan. Tetapi juga meliputi ekonomi, seni dan kebudayaan. Misalnya adanya pengrajin songket yang banyak berkarya di daerah ini. Sinergis pembangunan pendidikan, kesehatan dan perekonomian itulah yang kami harapkan meningkatkan taraf hidup kami, kata mereka. Secercah harapan akankah menjadi kenyataan…. (***)